Pemimpin Adil, Rakyat Taat
Seperti embun yang mendinginkan hati bunga lily,
bagaikan topan yang menggelagakkan dalamnya sungai
![]() |
google.com |
Seorang filosof dan penyair Muslim tenar dari India menulis nukilan syair di atas untuk seorang pemimpin yang adil nan menyejukkan rakyatnya, ia adalah Khalifah Umar bin Khattab. Beberapa ratus tahun lalu, saat kepemimpinan Islam berada di tangan beliau, memancarlah percikan-percikan keteladanan dari laku, hati dan lisannya. Pernah di suatu malam, saat seorang bawahannya menghadap untuk melaporkan wilayah yang menjadi tanggung jawabnya, tiba-tiba Amirul Mukminin mengganti lilin dengan sebuah lampu yang bahkan cahayanya tidak bisa menerangi seisi ruangan. Sang bawahan yang sedang menghadap pun merasa bahwa tingkah laku Amirul Mukmini itu sangatlah aneh -untuk apa ia tiba-tiba mengganti penerangan ruangan-. Tak ingin menyimpan rasa penasaran lebih lama, bertanyalah Sang Bawahan perihal penggantian lampu penerangan tersebut kepada Sang Amir. Di luar dugaan, penggantian lampu tersebut terkait dengan hal yang bahkan mungkin tidak terpikir oleh orang-orang seperti kita. Khalifah Umar tak mau menggunakan lilin yang dibiayai oleh negara untuk membicarakan hal-hal yang di luar urusan kenegaraan. Ya, saat itu Sang Bawahan memang menanyakan kabar istri dan anak-anak beliau- yang mungkin tidak lebih dari lima menit-.
Di waktu-waktu berikutnya, Khalifah Umar bin Khattab terbukti sangat memperhatikan rakyatnya. Suatu ketika secara diam-diam beliau turun berkeliling di malam hari untuk menyaksikan langsung keadaan rakyatnya. Sampailah Khalifah Umar di luar kota Madinah, pada sebuah rumah dilihatnya seorang wanita sedang memasak sesuatu, sedang dua anak perempuan duduk di sampingnya berteriak-teriak minta makan. Perempuan itu, ketika menjawab pertanyaan sang Khalifah, menjelaskan bahwa anak-anaknya lapar, sedangkan di ceret yang ia jerang tidak ada apa-apa selain air dan beberapa buah batu. Itulah caranya ia menenangkan anak-anaknya agar mereka percaya bahwa makanan sedang disiapkan. Tanpa menunjukan identitasnya, Khalifah bergegas kembali ke Madinah yang berjarak tiga mil. Ia kembali dengan memikul sekarung terigu, memasakkannya sendiri, dan baru merasa puas setelah melihat anak-anak yang malang itu sudah merasa kenyang. Keesokan harinya, ia berkunjung kembali, dan sambil meminta maaf kepada wanita itu ia meninggalkan sejumlah uang sebagai sedekah kepadanya. Yang perlu kita catat adalah Khalifah Umar bin Khattab bahkan tidak memakan gandum selama masih ada di antara rakyatnya yang tidak bisa menikmati gandum.
Masih banyak lagi cerita keteladanan dalam memimpin rakyat yang diperankan oleh Khalifah Umar bin Khattab, yang ketika dituliskan di sini mungkin hanya akan membuat kita mengeluh bukannya mengambil hikmah. Kesalahan terbesar kita adalah kita merasa tidak mampu menemukan sosok seperti beliau dan tak mungkin ada lagi sosok pemimpin seperti itu. Sebuah ketidakoptimisan yang sering kali berakhir hanya pada hujatan –pemimpin kita tidak adil-. Sebaiknya kita membaca kisah selanjutnya untuk bisa lepas dari kesalahan ini. Suatu hari, kisah khalifah yang lain -yaitu Ali bin Abi Thalib- memberi kita gambaran tentang keadaan sebuah negeri yang rakyatnya kurang bijak dalam melihat permasalahan negerinya. Datanglah seorang warga bertanya kepada Khalifah Ali tentang keadaan negaranya yang carut marut, “Wahai Amirul Mukminin, mengapa keadaan negara saat dipimpin olehmu seperti ini?”. Dengan cerdik Khalifah Ali Bin Abi Thalib pun menjawab. “Itu karena saat kepemimpinanku rakyatku sepertimu, sedangkan Khalifah terdahulu rakyatnya sepertiku”. Tepat. Jawaban Khalifah Ali bin Abi Thalib memberi kita hikmah luar biasa tentang syarat kemakmuran sebuah negeri. Tidak hanya dipimpin oleh orang-orang luar biasa seperti Khalifah Umar bin Khattab, negeri yang makmur haruslah didukung oleh rakyat sekaliber Ali bin Abi Thalib. Tak ada kemakmuran negeri yang dipenuhi -hanya- oleh salah satu diantaranya, keduanya harus ada dan saling melengkapi. Pemimpin yang adil dan rakyat yang taat.
Bulan lalu, saat negeri ini gonjang-ganjing isu kenaikan BBM, berbagai argumen mencuat dan mencoba menghujamkan isinya ke dalam hati rakyat. Ada yang mendukung-ada pula yang menolak. Riuh rendah di media segala suara bermuara. Tapi siapakah sebenarnya yang seharusnya berbuat nyata untuk makmurnya negeri? Ya, Pemimpin dan rakyatnya. Yang dengan laku nyata mampu membuktikan bahwa setiap kebijakan yang diambil adalah kebijakan yang terbaik, dan bahwa setiap kebijakan yang diyakini baik harus didukung penuh oleh rakyatnya. Jangan bertanya harus mulai dari siapa? Tapi bertanyalah apa yang bisa kita perbuat untuk perbaikan negeri.
Published on Media Keuangan April 2012
informasi yang menarik..:) smoga di kehidupan kita semakin adil..! salam kenal..:)
BalasHapus