Menyikapi Masalah Secara Bijak
Pagi adalah perjuangan sekaligus tantangan, sebenarnya si saya rasa untuk semua orang, termasuk juga saya dan suami. Berkejaran dengan nafsu sendiri untuk bisa tiba tepat waktu di kantor, tetap semangat meski keadaan di kereta tidak nyaman, and etc. Dalam perjalanan ke kantor pagi ini saya sempat membuka timeline dan tertegun dengan sebuah cerita pendek yang dibuat oleh @HusbandAdvice, entah kenapa saya selalu tersentil dengan shortstory dari akun ini.
Sepasang suami istri menikah dan Allah swt menakdirkan baru di tahun ke-11 mereka berdua diamanahi buah hati. Penantian yang tidak bisa disebut sebentar bukan? Mereka begitu bahagia. Suatu hari, sang ayah menderita sakit tertentu dan terburu-buru meminum obatnya sebelum berangkat ke kantor. Karena ketergesaannya itu, tutup botol obat tidak bisa ia temukan. Untuk itu, ia meminta sang istri untuk mencari. Sang istri pun mencari tutup botol obat tersebut di beberapa tempat. Ia pun mencarinya ke dapur. Sang anak yang masih berumur dua tahun tertarik dengan bentuk botol dan warna isinya, kemudia menelan habis selruh isi botol tanpa sepengetahuan sang Ibu. Padahal obat tersebut berdosis tinggi, untuk orang dewasa pun hanya boleh diminum dengan dosis kecil. Anak itu pun pingsan. Sang Ibu yang masih shock membawa anaknya ke RS. Innalillahi wa ina ilaihi rooji'un, anak itu akhirnya tidak tertolong. Sang istri merasa takut yang amat sangat, bagaimana nanti ia bisa menjelaskan hal ini kepada suaminya.
Beberapa saat kemudian sang suami tiba di RS. Sang istri yang masih sedih sekaligus takut tak berkata-kata apa-apa, hanya diam dan menangis. Namun, sebuah kalimat yang dilontarkan sang suami mengubah segalanya. Sang suami berkata, "I am with you Darling". See, sang suami tidak marah, tidak menumpahkan kekesalan pada istrinya, bahkan ketika anak yang disayanginya meninggal karena kelalaian kecilnya. Menyesal? Bisa saja dilakukan. Tetapi mengapa ia tidak melakukannya?
Seringkali dalam hidup kita, saat menemui kesulitan dan musibah, kita sesegera mungkin mencari orang atau sesuatu untuk kita tumpahi kemarahan, kita labeli 'bersalah'. Entah dalam sebuah lingkungan pekerjaan, bahkan dalam sebuah hubungan. Mari kita melihat dengan cara pandang sang suami dalam kisah ini. ia tahu bahwa anaknya telah meninggal, dan anaknya tidak akan kembali sekeras apapun ia marah. Selain itu, ia menyadari, bahwa istrinya saat ini sendiri dan sedih, satu-satunya yang dimiliki istrinya adalah dirinya, suaminya. Jika ia berdiri di depan istrinya kemudian meluapkan kemarahan, maka dapat dipastikan hubungan mereka akan hancur saat itu juga.
Dari kisah ini, saya menyadari, bahwa saling mencari siapa yang salah dalam sebuah problem bukanlah cara untuk menyelesaikan masalah. Butuh cara menyikapi yang bijak dan melihat dari semua sisi, agar sisi kehangatan hati bisa menyelesaikan masalah yang kita hadapi. Apalagi dalam hubungan suami dan istri, tidak dapat dipungkiri bahwa kita tetaplah dua orang yang berbeda, meski satu rumah, meski telah hidup bersama untuk waktu yang tidak sebentar, kita tetaplah berbeda dalam cara pandang, karakter atau alur berpikir. Tetapi dengan menjadi bijak, perbedaan tak lagi saling mengurangi, melainkan saling melengkapi.
Komentar
Posting Komentar
Hi, nice to hear your inner-voice about my blog. Just feel free to write it here, but please dont junk :)