Mempersiapkan Orang Dewasa Bahagia Tanpa Tergantung Materi
Pagi ini aku tertegun setelah membaca sebuah artikel di mother.ly. Sebuah situs berisikan artikel-artikel seputar motherhood yang menurutku cukup menarik (meskipun sejujurnya aku ga setuju dengan 'kebebasan'nya -you can scrolling their article and then you will know why) untuk kupertimbangkan dan bahkan sesekali kubahas isinya dengan mas suami. Kali ini, tentang pentingnya mengajarkan rasa terima kasih kepada anak-anak kita dan bagaimana caranya. Dari beberapa poin yang diulas dalam artikel tersebut, saya tersentil dengan kalimat ini.
Having too much stuff can hinder children's development of gratitude -Christina Celmer
And, i thought. Thats right! Di Canbie, anak-anak tidak punya mainan sebanyak di Depok. Benar-benar limit, tidak lebih dari 6 jenis mainan : lego block, animal figurine, doctor set, boneka ikan, boneka beruang dan boneka bayi. Thats it. But they loves every one of each. Then their skill (role playing, building lego, even counting) still improve, alhamdulillah. Aku ga mengira bahwa mereka malah jadi benar-benar mahir (dan cenderung kreatif) menggunakan mainan yang ada. When -before that- i was wonder they will bored. Like an adult -like me- being bored of what I have possesed sometimes. But no. They never asked any new toys. Why?
Sedangkan aku, saat aku sedang tidak dalam kondisi mood yang baik, kuhibur diri dengan berbelanja. Seolah-olah kesedihan akan beranjak setelah aku memiliki sesuatu. Tetapi semakin lama aku menyadari bahwa kebahagiaan yang terikat materi itu semu. Karena kebahagiaan terikat materi bersifat rapuh, Bayangkan bila kebahagiaanku menempel pada brand yang kupakai. Maka aku akan bahagia -hanya- bila aku mengenakannya. Lalu, apakah aku masih bahagia jika aku tidak lagi mampu membelinya? No, happiness should be remind in our heart. Not on meterials.
Sayangnya, secara sadar atau tidak, aku -sebagai ibu- telah mengenalkan kebahagiaan berakar kebendaan sejak mereka lahir. Banyaknya pakaian yang mereka miliki, aneka mainan yang terus menerus kubeli, juga gaya hidup konsumtif yang sangat mungkin mengajarkannya bahwa mendapatkan sesuatu adalah tujuan hidup yang membahagiakan. Which is salah besar.
Kembali ke mainan, di Depok, saking banyaknya mainan, its really hard to manage all of them. Tingkat sayang sama mainan itu rendah. Hilang satu part ? Santai, masih ada mainan lain. Tenang, besok juga ada paket dateng isi mainan *plaksmeplease. Mereka jadi tidak belajar pentingnya rasa syukur karena mereka tidak pernah merasakan kekurangan ataupun memerlukan usaha untuk memperoleh sesuatu. Baru kerasa sekarang rasa bersalahnya ya Allah. Ternyata selama ini aku ngajarin konsumerisme ke anak-anak, plus mengajarkan kebahagiaan berakar kebendaan. Tidak hanya itu, mereka berisiko menjadi orang dewasa yang susah merasa puas (dissatisfied) dan narsis (karena kebendaan yang melekat). Sosok orang dewasa yang tidak bahagia.
Aku berharap kelak -saat kembali ke dunia nyata sebagai ibu bekerja, aku ga lagi menghapus rasa bersalahku -karena memilih bekerja- dengan cara membelikan mereka aneka barang.
Banyak orang dewasa menjadi tidak bahagia karena tidak memiliki sesuatu -kebahagiaannya melekat pada materi
Sedangkan aku, saat aku sedang tidak dalam kondisi mood yang baik, kuhibur diri dengan berbelanja. Seolah-olah kesedihan akan beranjak setelah aku memiliki sesuatu. Tetapi semakin lama aku menyadari bahwa kebahagiaan yang terikat materi itu semu. Karena kebahagiaan terikat materi bersifat rapuh, Bayangkan bila kebahagiaanku menempel pada brand yang kupakai. Maka aku akan bahagia -hanya- bila aku mengenakannya. Lalu, apakah aku masih bahagia jika aku tidak lagi mampu membelinya? No, happiness should be remind in our heart. Not on meterials.
Sayangnya, secara sadar atau tidak, aku -sebagai ibu- telah mengenalkan kebahagiaan berakar kebendaan sejak mereka lahir. Banyaknya pakaian yang mereka miliki, aneka mainan yang terus menerus kubeli, juga gaya hidup konsumtif yang sangat mungkin mengajarkannya bahwa mendapatkan sesuatu adalah tujuan hidup yang membahagiakan. Which is salah besar.
Akar dari rasa bahagia adalah syukur.
Kembali ke mainan, di Depok, saking banyaknya mainan, its really hard to manage all of them. Tingkat sayang sama mainan itu rendah. Hilang satu part ? Santai, masih ada mainan lain. Tenang, besok juga ada paket dateng isi mainan *plaksmeplease. Mereka jadi tidak belajar pentingnya rasa syukur karena mereka tidak pernah merasakan kekurangan ataupun memerlukan usaha untuk memperoleh sesuatu. Baru kerasa sekarang rasa bersalahnya ya Allah. Ternyata selama ini aku ngajarin konsumerisme ke anak-anak, plus mengajarkan kebahagiaan berakar kebendaan. Tidak hanya itu, mereka berisiko menjadi orang dewasa yang susah merasa puas (dissatisfied) dan narsis (karena kebendaan yang melekat). Sosok orang dewasa yang tidak bahagia.
Aku berharap kelak -saat kembali ke dunia nyata sebagai ibu bekerja, aku ga lagi menghapus rasa bersalahku -karena memilih bekerja- dengan cara membelikan mereka aneka barang.
Masih ada banyak hal lain yang lebih mendidik dan bermakna dibandingkan melekatkan aneka barang ke tubuh mereka. Yaitu, sepenuh diriku dan doaku.
Aku tidak mau anak-anakku memiliki kepercayaan bahwa kesuksesan didefinisikan dengan banyaknya barang bagus yang ia miliki, no. Aku juga tidak ingin memperlihatkan kepada mereka bahwa memiliki suatu produk tertentu akan membuat diri seseorang menjadi lebih menarik. They, you and me, are attractive because our good manners, not what we use or wear or have.
Our action. Not our possession.
Aku ingin mereka percaya diri dengan apa adanya diri mereka. Dan yakin bahwa yang Allah akan catat sebagai nilai dari diri setiap orang adalah apa yang mereka perbuat untuk Allah. Thats it. Dan sepertinya challenge itu akan terlebih dahulu aku lewati. Mana mungkin aku mendidik anak-anakku agar kelak menjadi orang dewasa yang bahagia karena banyaknya rasa syukur tanpa dimulai dari diriku sendiri bukan? Daripada memberikan hadiah barang-barang kepada diriku, lebih baik aku mulai menggantinya dengan sebuah pengalaman.
Di artikel yang sama, Celmer juga menyebutkan bahwa experiences lebih memberikan makna di benak anak-anak kita. Sekaligus membangun bonding dan sebagai bonus, mampu menekan keinginan untuk memiliki suatu barang. Pengalaman ini tidak harus sesuatu yang mahal (atau mewah), karena yang terpenting adalah kehadiran kita bersama anak-anak dalam sebuah aktivitas bersama. Jadi bisa saja sesederhana menanam bunga di halaman rumah, atau se-complicated menaiki gunung tertinggi di dunia (helloww,, adasiy,tapi bukan aku pastinya 😅)
Menabung keterikatan hubungan ternyata juga mampu menekan rasa stres.
Aku rasa stres termasuk salah satu pemicu orang dewasa yang materialistis. Anak-anak yang merasa tidak puas dengan perlakuan ayah ibunya bukankah cenderung memuaskan diri dan mencari kenyamanan dengan memiliki sesuatu? Itulah mengapa kenakalan remaja juga banyak yang ujung-ujungnya butuh uang untuk beli sesuatu. Entah rokok, entah minuman keras, kalau searching di Google ada berbagai macam kasus kenakalan remaja yang akar masalahnya adalah kebendaan. Cerita orang dewasa yang bunuh diri karena harta ? Juga banyak. Pasangan yang tidak akur karena harta? Bahkan hingga bercerai? Vemale.com merilis pada tahun 2017, dari 500 orang Amerika yang bercerai, 59% -nya mengakui berpisah karena adanya masalah finansial.
Ternyata mempersiapkan orang dewasa yang kebahagiaannya tidak tergantung materi tidak begitu mudah ya? Kadangkala kita hanya meneruskan bagaimana orang sekitar atau orang dulu mendidik kita. Padahal ada beberapa metode asuh yang sangat mungkin memicu kecintaan berlebih pada benda. Misalnya, memberikan hadiah hanya jika mencapai target tertentu (di mana seringkali targetnya hanya berasal dari orang tua, tanpa dimusyawarhkan terebih dahulu dengan sang anak), menghukum kesalahan anak dengan menyita atau mengambil apa yang mereka miliki tanpa penjelasan lebih lanjut tentang alasan hukuman tersebut, atau terus menerus memberikan benda sebagai bukti cinta sangat berisiko menanamkan kepercayaan bahwa mencintai artinya memberikan barang. Bila tidak diberi, maka tidak dicintai :p
Tentu saja ada berbagai cara untuk membantu anak-anak kita kelak insyaAllah tumbuh menjadi orang dewasa yang bahagia dan bertanggung jawab dengan hidupnya. Mengajarkan sikap berterimakasih atas setiap hal yang dimiliki anak-anak kita akan mencegah pandangan bahwa ia tidak akan bahagia tanpa sesuatu yang belum/tidak ia miliki. Selanjutnya, kita juga harus hadir saat quality time bersama anak-anak. Mengapa hadir? Karena seringkali kita mengaku bahwa ini waktunya untuk quality time, namun tidak fokus membersamai anak-anak. Tertawalah lepas dengan merek, peluklah mereka dan jadilah diri kita seutuhnya untuk mereka agar kita benar-benar memiliki waktu bersama yang berkualitas. Dan, tak ada kacang yang jatuh jauh dari pohonnya, kita harus menjadi role model untuk anak-anak kita bahwa kebahagiaan tidak bersumber pada benda. Kita sama bahagianya mengenakan pakaian branded ataupun lokal. Kita sama bersyukurnya saat makan dengan tempe atau sesekali steak. We are should be the one who always showing that everything we have is enough. And we are grateful because Allah still give chance to use it,while there are many people out there even never have that chance.
Bismillah, let start this new journey.
Pict source
Lego Photo by Markus Spiske on Unsplash
Horse Photo by Rosie Blamey on Unsplash
makasih sharingnya
BalasHapusSama sama Mba Tira Soekardi 😊
HapusAahh, ini bener banget mbak. It happens to me dan aku merasakan hal yang sama.
BalasHapusCuma, kadang ketika membeli mainan yang menawari adalah aku, karena terlalu kasian sama penjualnya ����
Lihat abang2 gitu, stop, terus nawarin beli anak2 sebiji atau 2 biji, murah je
No worries Mba, asalkan Mba Ajeng kasih tau alasan kenapa beli (padahal diri kita lagi ga butuh), yaitu karena kita kasihan
HapusMeanwhile, ternyata anak anak udah banyak mainannya, mungkin bisa dikasih ke orang lain yang membutuhkan. Double double deh value yang didapat 😊
keren sharingnya.. walaupun belum punya anak. quality time sama anak penting bgt
BalasHapusYes yes and yes.
HapusConscious time with them is so important
Thx udah mampir ya mba : )
Aduh kena lagi deh sama postingannya. Aku suka lupa untuk mengajarkan konsep cukup sama anak, ini dalam hal mainan yah. Tapi memang kebetulan anakku jarang banget minta mainan, ke toko mainan pun nggak pernah minta, kalo pun minta kita bilang nggak usah, dia pun nurut. Jadi karena itu aku kayak nggak ada 'beban' untuk mengajarkan hal ini.. Mungkin aku dan suami harus mulai ajarin dia untuk bersyukur sama apa yang dia miliki, termasuk mainannya (:
BalasHapusPadahal udah termasuk yang jarang beliin ya Mba Jane, semoga anak ngerti kenapa beli (bila belum waktunya) ketika nanti Mba Jane mulai ajarin :)
HapusWell, anak-anak pinter kok, dia cepet paham dan ngerti selama kita konsisten kasih contoh dan kasih insight ~
Ini bener banget. Banyak yang bahagia karena punya banyak barang, dan jadinya terikat dengan barang-barang miliknya. Tapi untungnya tren jaman sekarang minimalis ya, jadi sudah mulai banyak contoh hidup yang lebih sederhana.
BalasHapusBener banget Kak Dyah, selain itu juga bisa dimulai dari cara ortu mendidik anak anaknya terkait arti kepemilikan dan arti sukses/bahagia (yang ga melulu diukur dengan materi)
HapusThanks for sharing, sukses terus..
BalasHapusYou are welcome ~
Hapus