Immediate Reward : Sebuah Kesalahan Dalam Membuat Tujuan Apapun Dalam Hidupmu
Ketika membuat sebuah karya, rasa-rasanya tidak mungkin bila kita tidak menginginkan adanya penghargaan dari orang lain -sekecil apapun itu. Seolah-olah, tanpa adanya sebuah penghargaan, maka karya kita tidak cukup pantas untuk menjadi suatu hal yang pantas dan membahagiakan untuk ditekuni. Kita ingin -bahkan- pada karya karya awal itu, langsung tersemat label splendid atau wonderful atau superb atau gilak. Dan semacamnya. Yes, most of us, are we want an immediate reward ?
Saya tau rasanya semenyenangkan itu bila karya kita diterima oleh khalayak -entah itu sebuah essay, entah itu sebuah foto, film pendek atau mungkin masakan yang kita masak dengan segenap jiwa raga dan keringat. Dan saya juga tau rasa semenyedihkan itu bila karya yang sudah kita buat dengan susah payah, sama sekali tidak menarik decak kagum. Namun, apakah itu yang kita cari ?
Satu hal yang seringkali tidak kita siapkan saat membuat sebuah karya adalah siap untuk tetap memberikan energi yang sama seperti saat kita memulai karya meski karya kita tidak dianggap atau bahkan dilirik pun tidak. Kenapa? Karena sejak awal, mungkin tujuan yang kita buat salah, mungkin niat kita dalam berkarya masih kabur, mungkin yang lebih tepat adalah : kita belum siap untuk berjuang dan menikmati naik turunnya kehidupan berkarya -karya apapun itu.
Ken Mogi, dalam bukunya yang berjudul The Little Book of Ikigai, mengatakan "In life, we sometimes misplace priorities and significance. Too often, we do something for the sake of rewards. If the reward are not forthcoming, we are disappointed and lose interest and zeal in the work. That is simply wrong approach!" And I 100% agree with him. Dan sejujurnya, itulah alasan saya menulis blog kali ini.
Kalau dipikir-pikir, kalimat Ken Mogi tadi malah terasa seperti ditujukan khusus untuk saya. Ya, orang yang katanya pengen jadi penulis, orang yang katanya cinta menulis, orang yang ngakunya pengen bisa menginspirasi orang lain lewat tulisan, orang yang katanya punya energi positif kalau bisa menyelesaikan tulisan, namun seringkali berhenti menulis hanya karena pencapaian tulisan-tulisannya tidak sepeti yang ia harapkan. Itu adalah saya, yang beberapa minggu terakhir secara sadar memilih untuk berhenti berkarya. Selelah itukah saya berkarya tanpa immediate reward ? Namun sepantas itu jugakah saya mengorbankan kecintaan saya pada dunia menulis hanya karena reward yang datang tidak seperti yang saya mau?
Bukan karya saya yang salah, tapi jiwa saya yang belum kuat.
Membaca buku The Little Book of Ikigai mengingatkan saya bahwa sebuah karya yang akhirnya mendunia tidak hanya karyanya bagus. Lebih dari itu, ada banyak faktor lain yang membuat sebuah karya menjadi hebat dan dipandang baik oleh mata dunia. Karena bahkan sebuah karya yang sama baiknya dalam kualitas, sangat mungkin berakhir pada tempat yang berbeda. Lalu apa yang membuat saya harus tetap menulis meski ternyata Tuhan menakdirkan tulisan saya tidak "sebagus itu" ?
Lika Liku Menulis
Bisa dibilang menulis adalah satu-satunya aktivitas yang tetap saya lakukan hingga hari ini bahkan setelah saya pernah mencicipi fotografi, fashion desainer, ilustrator, MC bahkan menyanyi. Selalu pada akhirnya balik lagi ke nulis, balik lagi ke nulis. Hati saya loyo bila tidak menulis. Rasanya ada yang kurang bila tidak menulis. I really enjoy writing, from searching the idea, growing the idea till finish the write. Tetapi entah kenapa selalu saja mengalami yang namanya mandeg nulis. Merasa ga puas karena tulisan ga dibaca sewow itu. Ga pede karena tulisan tidak pernah viral. Ga merasa yakin ini pilihan passion yang tepat hanya karena saya merasa "reward itu" tidak saya lihat batang hidungnya. Deng deng! Itulah salahnya Buk!
![]() |
Seloww aja buuuk kayak aku :3 |
Menemukan Ikigai dalam Menulis
Nah! Akhirnya saya tersadar bahwa tidak sepantasnya saya menjadikan immediate reward sebagai tujuan saya menulis hingga hari ini. Bagaimanapun hasilnya, saya merasa betul bahwa menulis bagi saya adalah ekspresi sekaligus pleasure. Bila selama beberapa tahun terakhir saya minim usaha (hanya karena merasa usaha tersebut juga akan berakhir sia-sia), maka tahun ini saya akan benar-benar secara sadar memakan pahitnya perjuangan menulis.
Dari apa yang Ken Mogi ceritakan dalam bukunya, saya belajar betapa banyak sosok orang Jepang yang menjadi sukses karena menerapkan prinsip ikigai dalam hidupnya. Ikigai saya ketahui belum lama ini, lama tidak menggali apa sebenarnya prinsip ikigai, akhirnya minggu lalu saya berkesempatan menuntaskan salah satu buku yang menceritakan tentang ini. Terdiri atas 5 pilar, ikigai diklaim menjadi sebab mengapa Jepang menjadi negara yang memiliki image seperti sekarang ini di mata dunia, dekat dengan alam, menghargai leluhur dan budayanya, memiliki etos kerja yang tinggi dan karya-karyanya mengundang decak kagum, mulai dari sushi, manga, ramen, bahkan whysky. Dalam prinsip ini dikenal bahwa untuk menemukan ikigai maka seseorang harus
Dari apa yang Ken Mogi ceritakan dalam bukunya, saya belajar betapa banyak sosok orang Jepang yang menjadi sukses karena menerapkan prinsip ikigai dalam hidupnya. Ikigai saya ketahui belum lama ini, lama tidak menggali apa sebenarnya prinsip ikigai, akhirnya minggu lalu saya berkesempatan menuntaskan salah satu buku yang menceritakan tentang ini. Terdiri atas 5 pilar, ikigai diklaim menjadi sebab mengapa Jepang menjadi negara yang memiliki image seperti sekarang ini di mata dunia, dekat dengan alam, menghargai leluhur dan budayanya, memiliki etos kerja yang tinggi dan karya-karyanya mengundang decak kagum, mulai dari sushi, manga, ramen, bahkan whysky. Dalam prinsip ini dikenal bahwa untuk menemukan ikigai maka seseorang harus
- starting small (menghargai semua hal bahkan yang kecil sekalipun),
- releasing yourself (menjadi diri sendiri),
- harmony & sustainability (menyatu dan menyayangi alam/lingkungan),
- the joy of the little things (bahagia meski dengan hal hal kecil)
- doing in the here and now
Ada sosok yang paling saya ingat kisahnya, ia adalah seorang pedagang tuna di sebuah pasar ikan terbesar di Jepang. Ia -dengan prinsip ikigai dalam hidupnya- telah berhasil menjalani kehidupan bahagia dengan kepiawaiannya memilih tuna terbaik setiap harinya untuk dikirimkan kepada para pembeli setianya. Termasuk di dalamnya adalah sebuah restoran sushi paling terkenal seantero Jepang. Setiap hari, demi mendapatka tuna terbaik itu, ia selalu bangun pukul 2 pagi dan segera menuju tempat penjualan ikan. Berbeda dengan orang kebanyakan dalam memilih tuna berkualitas, ia tidak hanya melihat tampilan luarnya (karena menurutnya hal tersebut kutang tepat untuk menunjukkan kualitas sebuah tuna), melainkan meraba bagian dalam tuna yang biasanya memang terbuka meski tidak begitu lebar. Bayangkan, ia meraba tuna itu satu demi satu dengan perasaan "is it the right one?" Terdengar sedikit ekstrim ya? Karena menurut beliau, kemungkinan menemukan tuna terbaik itu hanyalah 1 di antara seratus. Beuh!
But that is his ikigai,hal yang membuatnya selalu bisa bangun pagi setiap hari adalah adrenalin atas ketidakpastian menemukan kualitas tuna yang ia inginkan. Namun ia membuktikan bahwa hal seperti itupun bila dijalani dengan prinsip ikigai akan bisa menjadi sumber dari sustainability of life. Alasannya untuk bangun setiap pagi, itulah ikigai.
Itu tentang tuna, lalu bagaimana dengan menulis?
Saya mencoba menerapkan prinsip-prinsip ikigai dalam menulis dengan harapan saya menemukan menulis sebagai purpose of life. Ada banyak alasan yang bisa membuat seseorang terus menulis, menghabiskan malam-malam panjang untuk menulis, mengorbankan kesempatan berleha leha demi menyelesaikan tulisan, dengan tujuan yang berbeda-beda. Tapi bagi mereka yang menerapkan ikigai, bila ia menulis selah dipilih sebagai tujuan hidup, maka ada atau tidak orang yang membaca tulisannya : ia tetap menulis. Yes! Kamu sama sekali ga salah baca.
Starting small
Menulislah dari hal-hal sederhana yang kita tau. Tidak menganggap remeh seremeh apapun tema yang ditulis dan tidak menganggap remeh setiap detil dari sebuah tulisan. Bila itu sebuah blog, maka memperhatikan bagaimana membuka sebuah tulisan, bagaimana alur, apa infografis yang tepat untuk disematkan, dan hal-hal kecil lainnya tidak boleh lepas dari perhatian.
Itu tentang tuna, lalu bagaimana dengan menulis?
Saya mencoba menerapkan prinsip-prinsip ikigai dalam menulis dengan harapan saya menemukan menulis sebagai purpose of life. Ada banyak alasan yang bisa membuat seseorang terus menulis, menghabiskan malam-malam panjang untuk menulis, mengorbankan kesempatan berleha leha demi menyelesaikan tulisan, dengan tujuan yang berbeda-beda. Tapi bagi mereka yang menerapkan ikigai, bila ia menulis selah dipilih sebagai tujuan hidup, maka ada atau tidak orang yang membaca tulisannya : ia tetap menulis. Yes! Kamu sama sekali ga salah baca.
Starting small
Menulislah dari hal-hal sederhana yang kita tau. Tidak menganggap remeh seremeh apapun tema yang ditulis dan tidak menganggap remeh setiap detil dari sebuah tulisan. Bila itu sebuah blog, maka memperhatikan bagaimana membuka sebuah tulisan, bagaimana alur, apa infografis yang tepat untuk disematkan, dan hal-hal kecil lainnya tidak boleh lepas dari perhatian.
Releasing yourself
Menjadikan orang lain sebagai panutan tentu sah saja menurut saya. Namun jangan sampai mematok diri harus seperti orang lain. Ken Mogi berpesan, "We can find our happiness within the unique condition of each of us". Ojok baper meski berbeda. Karena sudah semestinya kita menerima diri kita apa adanya termasuk menerima tulisan-tulisan yang kita hasilkan (termasuk kalau memang bekum waktunya naik cetak jadi buku solo mungkin? kita masih bisa mengusahakan di buku antologi). Oiya, ada satu lagi bagian dari ikigai yang juga tidak kalah penting dalam prinsip ini yaitu, flow. Ketika kita bisa mnegerjakan sesuatu namun sama sekali tidak merasa bosan/lelah bahkan sangat larut, thats flow. Kuncinya? Please,no need an immediate reward, just enjoy the process of finishing your work. Mark Manson juga bilang kan? Kalau kebahagiaan itu bukan saat mencapai puncak, namun saat mendaki, hmm hmm hmm.
Harmony & Sustainability
Menulis meski tujuannya bukan untuk orang lain tetap harus memperhatikan dampak tulisan terhadap pembacanya. Kalau bisa bikin tulisan yang bermanfaat, kenapa kudu nulis aneka hoax?
The Joy of The Little Things
Menikmati setiap proses menulis, mulai dari mempersiapkan ide, menulis kerangka, mencari data, membuat infografis hingga menyelesaikannya menjadi sebuah tulisan yang utuh.
Being Here and Now
Be present. Ketika sedang menulis maka menulislah secara sadar. Bahasa lain dari prinsip ini adalah mindfulness. Sebenernya kalau soal ini, sebagai mak emak aku agak kesusahan, tapi even cuma bisa nulis sekitar 15-30 menit per sesi, bisa menumpahkan seluruh fokus ke tulisan yang sedang kita buat insyaAllah cukup. Ya kalau bisa siy pengennya kayak Oma Maya Angelou kan? Kalau mau nulis buku dia bakal ke kantornya, yang mana kantornya adalah sebuah kamar hotel, hahaha.
Saya mencoba menerapkan ini dan merasakan adanya dorongan untuk terus maju meski resources pendukung terbatas -terutama waktu. But, everyone got 24 hours right? Rasa-rasanya bukan alasan yang tepat juga kalau menyalahkan waktu yang ada. Apalagi untuk sesuatu yang bener-bener kita jadikan sebagai bagian dari hidup kita. Harusnya kalau memang sudah dipilih ya dijalani dengan senang hati :p
![]() |
Buku-buku kece rekomended niy bun |
Saya siy pengennya tujuan yang ga bakal bikin saya kesel kalau ga kesampaian seperti yang saya mau. Hah? Ya, kita kan manusia tho? Jadi, kalau tulisan saya pengennya bisa manfaat buat siapa saja yang membacanya meskipun yang baca cuma 1. Hahaha, iya, 1 banget. Gakpapa. Jadi saya ga kecewa kalau yang baca blog saya ini cuma 10 orang per hari. Saya ga pernah tau dari 10 orang itu yang mana yang lebih dapet manfaatnya. Allah juga ga menghitung kebaikan berdasarkan jumlah yang keajak kan? Kewajiban kita cuma ikhtiar, sisanya biarkan Allah yang menunjukkan apa yang terbaik buat kita.
Ini sebenernya semacam post penghiburan, lama banget ga nulis sampai pageview drop hampir 2/3 dari biasanya, tapi LIVE MUST GO ON kan? Ga ada ruginya mulai lagi dari nol.
Semoga kalian yang baca dapet manfaatnya yaa ~ setelah sekian lama saya hiatus.
Salam,
Resources
wah suka banget, saya serasa dicambuk baca review ttg ikigai ini. saya juga merasa tulisan masih buruk dan buruk terus. thanks for sharing kak..
BalasHapusYou are welcome Ghina
HapusIts a process, just enjoy and feel the difference
☺ ganbaree!
Konsep ikigai ini memang menarik untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari ya. Aku pernah ada di momen nulis sebuah blog post, kemudian tulisan tsb ramai, akhirnya aku terlena dan malah susah move on untuk menghasilkan tulisan baru. Kayak ada semacam beban harus bisa nulis kayak gitu lagi biar viral! Padahal mah nulis ya karena emang buat kita juga. Salah satu blogger panutanku juga pernah kasih tips untuk matiin fitur komentar di blog supaya kita bisa menulis mandiri, nggak terbebani dengan apa kata orang. Menarik ya.
BalasHapusBtw, buku bacaan Mba oke-oke nih. Buku Ikigai ini udah waiting list mulu, gak dapet2 di Bookabuku ): yg subtle art itu surprisingly aku gak gitu enjoy, beda selera apa gimana kali yaa.
Thanks Mba untuk artikel ini!
Kak Reggi, makasih banyak udah main lagi kemari. Menarik dan pengen bisa se-ON itu sama 'ladang' yang udah kita pilih untuk ditanami
HapusIkigai udah ditranslate kan ya ke bahasa Indonesia? Semoga segera bisa baca bukunya ya 😍
Aku seneng sama siy subtle art karena merasa lebih riil kata katanya (tipe stright aku mah)
Sangat bermanfaat buat saya. saya ingin sekali menulis tapi merasa seperti itu. Kok gak banyak yang baca? kok yang nge like dikit? tapi kalau tujuan mau sharing sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain, tentu saja kita tak pernah tau siapa yang merasa bersyukur telah membaca dan mendapatkan inspirasi dari tulisan kita.
BalasHapusBener banget Kak Ros, mahal banget emang harga konsistensi, termasuk dlam berkarya, huhuhu
Hapus