Dari Dugaan Lambat Bicara Berbuah Cinta Membaca
"Abah, kalau paus mamalia kan ya?'
"Bener Kak, Kakak dikasih tau Bu Guru ya?"
"Nggak, aku baca (red = lihat) di buku"
Mungkin bagi kalian percakapan antara Kakak (anak pertama saya) dan Abahnya di atas terdengar amat biasa -dan normal. Namun bagi saya, Ibunya, percakapan tersebut terasa amat luar biasa. Apa pasal? Karena sekitar 4 tahun lalu, saat usia Kakak belum genap berusia 2 tahun, kami pernah dag dig dug menunggu ia mengucapkan kata-kata seperti teman-teman seusianya. Jangankan memikirkan kelak ia lancar membaca, bisa mendengar ia memanggil nama kami saja rasa-rasanya lebih dari cukup.
Anakku Didiagnosa Lambat Bicara
Memasuki usia 18 bulan, tepat ketika Kakak memenuhi jadwal vaksinasi, Dokter sekaligus mengecek tumbuh kembangnya dan bertanya apakah Kakak sudah mulai mengeluarkan satu-dua kata bermakna. Deg! Saya terasa diingatkan bahwa saat itu sangat mungkin saya terlalu santai sampai-sampai tidak memperhatikan kemampuan bicaranya.
Berdasarkan hasil diagnosa dokter anak, kami harus mulai memperhatikan perkembangan bicaranya dan memastikan stimulasi yang tepat agar milestone yang saat ini masih lampu kuning kelak berwarna hijau. Mengetahui bahwa saya ibu bekerja, Dokter ingin saya memastikan bahwa Kakak dibatasi paparan terhadap layar per harinya dan memperbanyak mengajaknya bicara empat mata. Tapi bagaimana mungkin saya bisa lebih intens mengajaknya bicara, jelas-jelas setiap hari saya bekerja 8 to 5 ? Ada yang berpendapat bahwa setiap anak memiliki path tumbuh kembangnya sendiri, namun waspada tentu berbeda dengan abai -mamajagoan
Sebenarnya, saya tidak menyediakan smartphone di rumah. Namun dengan pertimbangan agar pengasuh tidak begitu bosan, saya masih menyediakan televisi. Tentu saja Kakak ikut terpapar layar televisi sejak bayi 😢 Setelah saya renungkan, jujur saya merasa sangat bersalah, karena sayalah orang pertama yang mengenalkan gadget pada Kakak. Dengan alasan remeh temeh tanpa memperhatikan usianya yang masih sangat sangat muda, hanya karena alasan videonya lucu, kartun, khas anak-anak setiap kali mengajaknya bermain sepulang saya bekerja. Padahal anak-anak menyerap kemampuan bicara dari momen face to face dengan orang asli, bukan gambar bergerak/video. Sehingga alasan memberikan gadget agar anak belajar bicara tidak bisa 100% dibenarkan manfaatnya, apalagi bila mempertimbangkan risiko terhadap kesehatan mata dan mentalnya (misalnya : kecanduan, kurang bonding). Lalu, Allah memberi saya sebuah ide yang hingga hari ini saya syukuri keputusan tersebut segera saya eksekusi. Meski saya ibu bekerja, stimulasi bicara Kakak tetap bisa saya jalankan.
Ternyata, jawaban dari keterbatasan waktu saya sebagai ibu bekerja dalam membersamainya belajar bicara adalah dengan membaca buku bersama setiap malam.
Sebelum dugaan lambat bicara tersemat di diri Kakak, saya menganggap buku biasa-biasa saja pengaruhnya. Saya menyediakan buku anak-anak tapi tidak telaten membacakan. Bahkan masih terbersit pemikiran : usianya masih terlalu kecil untuk bisa dan perlu dibacakan buku. Dan : saya salah!
Semenjak saya mulai membacakan buku kepadanya setiap malam, sejak saat itulah Kakak kecanduan membaca buku bersama!
Saat itu usia Kakak bahkan belum genap 2 tahun. Tetapi setiap kali saya pulang kantor, yang dimintanya adalah membaca buku -beberapa judul buku menjadi favoritnya dan minta dibacakan berulang-ulang. Singkat cerita, saya pun melihat kemajuan ini sebagai suatu hal yang baik. Tidak hanya berpengaruh pada perkembangan bicaranya tetapi juga bonding kami sebagai ibu dan anak semakin membaik. Memasuki usia tepat 2 tahun, akhirnya Kakak bisa mencapai milestone-nya yang tertinggal. Kakak bisa menyanyikan lagu-lagu yang pernah saya ajarkan selama ini dan berbicara sesuai milestone usianya. Syukur alhamdulillah, ia pun terbebas dari dugaan lambat bicara yang pernah tersemat 6 bulan lalu.
Sang Adik Tertular Virus Cinta Buku
Tidak ingin mengulang pengalaman buruk dengan anak pertama, saat anak kedua lahir saya lebih hati-hati dalam menemani tumbuh kembangnya, termasuk dalam mengenalkan gadget. Adik menunjukkan kemampuan bicara lebih cepat dari Kakaknya namun bukan berarti saya boleh berleha-leha. Syukurlah, karena telah terbiasa membacakan buku untuk Kakaknya, Adik juga dengan mudah jatuh cinta dengan buku-buku yang saya sediakan di rumah. Awalnya memang buku-buku serupa kertas tak bermakna buatnya 😅
Buku robek karena anak belum mengerti bagaimana cara menikmati buku dengan benar? Sudah biasa. Apa saya kapok? O tentu tidak.
Karena anak-anak itu pembelajar yang cepat. Lama kelamaan Adik paham bahwa untuk membuka lembar demi lembar halaman buku harus pelan-pelan. Bahkan akhirnya ia menemukan buku favoritnya. Sebuah buku yang bercerita tentang aneka jenis kendaraan. Percayalah, saya bahkan hampir-hampir merasa bosan karena setiap malam yang ia mau hanya membaca buku itu itu saja 😷
Buku robek karena anak belum mengerti bagaimana cara menikmati buku dengan benar? Sudah biasa. Apa saya kapok? O tentu tidak.
![]() |
Kakak dan Adik asyik menikmati buku pilihan mereka sambil menikmati waktu sore |
Karena anak-anak itu pembelajar yang cepat. Lama kelamaan Adik paham bahwa untuk membuka lembar demi lembar halaman buku harus pelan-pelan. Bahkan akhirnya ia menemukan buku favoritnya. Sebuah buku yang bercerita tentang aneka jenis kendaraan. Percayalah, saya bahkan hampir-hampir merasa bosan karena setiap malam yang ia mau hanya membaca buku itu itu saja 😷
Menikmati Buku di Belahan Dunia Lain
Tahun lalu, saya dan keluarga berkesempatan untuk mencicipi model pendidikan untuk anak usia dini di Australia.
Dari pengalaman kami selama kurang lebih 1 tahun di sana, saya semakin yakin bahwa peran keluarga, sekolah dan masyarakat dalam meningkatkan kemampuan literasi anak-anak begitu besar.
Setiap sekolah pasti memiliki perpustakaan yang lengkap dan menarik, bahkan demi mendukung pengenalan literasi sejak dini, sekolah juga melaksanakan home reading program. Home reading program didesain agar anak-anak membaca buku bersama orang tuanya di rumah. Buku-buku disediakan dari sekolah sesuai usia anak. Jadi tidak ada alasan tidak memiliki buku 😆 Sekolah juga bekerja sama dengan perpustakaan umum di setiap daerah untuk memperkenalkan perpustakaan dan program-programnya kepada anak-anak.
![]() |
Selain bisa membaca dan meminjam buku, ada banyak sekali aktivitas lain yang bisa dilakukan anak-anak di perpustakaan umum, salah satunya mewarnai |
![]() |
Spot favorit Kakak dan Adik di Dickson Library |
Membaca Sebagai Budaya Keluarga
Sejak saya kecil, orang tua saya sudah mengenalkan buku sebagai bagian tidak terpisah dari keseharian kami. Namun, buku-buku yang kami kenal tentu terbatas sekali, bahkan didominasi textbook alias buku-buku yang kami baca karena kebutuhan sekolah. Beruntung orang tua kami tidak pelit mengeluarkan biaya untuk membelikan majalah Bobo seminggu sekali. Dari pengalaman semasa kecil ini, sebenarnya membaca dan buku tidak pernah terpisah dari keseharian saya hingga kini telah menjadi ibu dari dua anak. Bahkan saya sering menulis review dari buku-buku yang saya baca. Saya baru benar-benar menyadari begitu besarnya peran buku dalam perkembangan literasi (tidak sekedar kemampuan membaca anak) setelah mengalami sendiri mendampingi Kakak melewati masa kritis diagnosa lambat bicara.
Dan semenjak 5 tahun menemani dan mengasuh anak-anak, saya merasa bahwa buku benar-benar bisa optimal perannya ketika dikenalkan dan dibudayakan dalam keluarga. Sekolah dan pemerintah bisa saja telah menyediakan berbagai sarana untuk mengenalkan anak-anak pada buku, namun tanpa pengenalan dan penguatan dari rumah. sangat mungkin buku menjadi hal yang amat sangat tidak menarik bagi anak-anak. Apalagi jika keluarga malah lebih dulu mengenalkan gadget atau ayah ibu lebih sering memegang gadget dibandingkan membaca buku? 😂
Bukan berarti saya anti-gadget, namun para ahli telah meneliti kapan waktu yang tepat dan bagaimana cara yang bijak untuk mengenalkan gadget agar manfaat yang didapat lebih banyak dibanding efek negatifnya. Berita-berita terkini juga telah memaparkan fakta bahaya kecanduan main games pada anak-anak di seluruh dunia.
Tapi kan buku mahal Bu!
Tenang, tenang, Jim Trelease dalam buku best seller-nya yang berjudul The Read Aloud Hand-Book menyatakan bahwa buku apa saja bisa kita bacakan untuk anak-anak, bahkan bila yang kita miliki hanya kamus bahasa.
Tapi saya yakin, setidaknya kita masih mudah untuk mengakses koran atau majalah bekas, bahkan di beberapa daerah juga mulai tumbuh perpustakaan untuk umum, baik yang diinisiasi oleh Pemerintah maupun swadaya masyarakat. Di beberapa kota bahkan masyarakat bisa mengakses perpustakaan keliling. Bahkan jika kesemuanya tetap sulit diakses dan kita hanya punya data internet, semua orang bisa mengakses iPusnas -sebuah aplikasi membaca buku yang bisa diakses oleh siapa saja dan di mana saja.
Masih belum yakin untuk memulai budaya membaca dengan berbagai alasan? Mungkin kita bisa menengok mengapa hingga hari ini kita tidak suka membaca sehingga buku tidak menjadi bagian dari keseharian kita. Bukankah karena sejak kecil kita tidak memiliki hubungan baik dengan buku? Lalu, maukah kita menjadi pemutus mata rantai itu dan membuka sejarah baru untuk masa depan anak-anak kita? Jika iya, maka inilah saatnya. Tidak ada kata terlambat untuk memulai.
Bila ada yang bisa kita baca dan ada pangkuan kita untuk mereka duduk, maka setiap mereka siap menjadi para pecinta buku untuk selamanya.
Semangart mom mendidik anak budaya membaca.
BalasHapusTerima kasih ~
HapusSelesai membaca ini, ada tamparan bagi saya khususnya Mbak untuk memangku anak-anak saya dalam membaca setidaknya. Menemani anak-anak saya dengan buku kesukaannya, apalagi waktu saya dirumah lebih banyak. Terima kasih sudah berbagi, Mbak
BalasHapusSama sama, saling mendoakan ya Mbak :)
Hapus